Rabu, 24 November 2010

PRINSIP-PRINSIP ETIKA DALAM BISNIS

PRINSIP-PRINSIP ETIKA DALAM BISNIS


Etika bisnis memfokuskan pada pencairan dan penerapan standar-standar moral pada kebijakan, institusi dan perilaku etika bisnis. Etika bisnis merupakan suatu bentuk etika terapan (applied ethics) yang memfokuskan pada perilaku yang benar atau salah di ranah bisnis pada situasi-situasi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari mereka di lingkungan kerja.


Manfaat, Hak, Keadilan dan Kepedulian
Bisnis juga menghadapi masalah kelangkaan atau keterbatasan sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai tujuannya. Dalam hal ini bisnis harus mempertimbangkan apakah keputusan-keputusannya akan sejauh mungkin memaksimalkan manfaat social dan meminimalkan biaya atau kerugian sosial. Dengan kata lain, prinsip manfaat (utilitarianisme) merupakan prinsip yang relevan dalam keputusan bisnis.
Keputusan dan aktivitas bisnis bagi perusahaan mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap kehidupan masyarakat. Banyak pihak yang kesejahteraan dan kebebasannya secara substansial dipengaruhi oleh kegiatan atau kebijakan bisnis. Oleh sebab itu, standar hak ini harus digunakan. Dalam hal ini, perimbangan moral adalah apakah indakan dan kebijakan yang diambil oleh bisnis menghormati hak-hak dasar individu-individu yang terlibat dan apakah konsisten dengan kesepakatan dan kewajiban-kewajiban khusus bisnis. Dengan prinsip hak ini, maka tindakan atau kebijakan bisnis harus konsisten dengan hak-hak moral dari mereka yang akan dipengaruhi.
Prinsip keadilan menuntut agar tidak ada pihak diperlakukan sesuai dengan standar atau kriteria yang objekif dan dapat dipertanggungjawabkan. Bisnis umumnya melibatkan sejumlah hubungan dengan pihak intern atau ekstern yang masing-masing mempunyai kepentingan.
Keputusan, kebijakan atau tindakan bisnis juga perlu didasarkan pada pertimbangan moral berupa kepedulian terhadap mereka yang dengan perusahaan memiliki konkret dan khusus. Prinsip kepedulian ini menuntut agar tindakan, keputusan atau kebijakan bisnis menunjukkan kepedulian yang selayaknya erhadap kesejaheraan mereka yang memiliki hubungan erat atau ketergantungan seperti pegawai. Prinsip kepedulian menuntut perusahaan beranggung jawab erhadap pegawainya dan juga terhadap masyarakat. Penganut prinsip ini akan mengatakan bahwa sulit dipahami jika perusahaan menelantarkan sekian banyak pegawainya.

Rabu, 17 November 2010

Upaya peningkatan pelayanan publik



Pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 2001 membawa perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Salah satu perubahan itu adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beberapa bidang pemerintahan.

Seiring dengan bertambah luasnya kewenangan ini, maka aparat birokrasi pemerintahan di daerah dapat mengelola dan menyelenggaraan pelayanan publik dengan lebih baik sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Sebagaimana dikemukakan (Hoessein, 2001):
“Otonomi daerah merupakan wewenang untuk mengatur urusan pemerintahan yang bersifat lokalitas menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dengan demikian desentralisasi sebenarnya menjelmakan otonomi masyarakat setempat untuk memecahkan berbagai masalah dan pemberian layanan yang bersifat lokalitas demi kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Desentralisasi dapat pula disebut otonomisasi, otonomi daerah diberikan kepada masyarakat dan bukan kepada daerah atau pemerintah daerah”.


Namun, hingga saat ini kualitas pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Di mana hal ini juga sebagai akibat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum dirasakan oleh rakyat. Di samping itu, ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki “uang“, dengan sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan. Untuk itu, apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan yang berpihak ini akan memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam kehidupan berbangsa. Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antar yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, pertumbuhan ekonomi yang melambat, dan pada tahapan tertentu dapat “meledak” dan merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan.


Kemudian, terdapat kecenderungan di berbagai instansi pemerintah pusat yang enggan menyerahkan kewenangan yang lebih besar kepada daerah otonom, akibatnya pelayanan publik menjadi tidak efektif, tidak efisien dan tidak ekonomis, dan tidak menutup kemungkinan unit-unit pelayanan cenderung tidak memiliki responsibilitas, responsivitas, dan tidak representatif sesuai dengan tuntutan masyarakat. Banyak contoh yang dapat diidentifikasi, seperti pelayanan bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, fasilitas sosial, dan berbagai pelayanan di bidang jasa yang dikelola pemerintah daerah belum memuaskan masyarakat, kalah bersaing dengan pelayanan yang dikelola oleh pihak swasta. Norman Flyn (1990) mengemukakan bahwa pelayanan publik yang dikelola pemerintah secara hierarkhis cenderung bercirikan over bureaucratic, bloated, wasteful, dan under performing.


Kejadian-kejadian tersebut lebih disebabkan karena paradigma pemerintahan yang masih belum mengalami perubahan mendasar. Paradigma lama tersebut ditandai dengan perilaku aparatur negara di lingkungan birokrasi yang masih menempatkan dirinya untuk dilayani bukannya untuk melayani. Padahal pemerintah seharusnya melayani, bukan dilayani. Seharusnya, dalam era demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi, perlu menyadari bahwa pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang" (Mustopadidjaja, 2003).


Agar pelayanan publik berkualitas, sudah sepatutnya pemerintah mereformasi paradigma pelayanan publik tersebut. Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan bagi peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik.