Pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 2001 membawa perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Salah satu perubahan itu adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beberapa bidang pemerintahan.
Seiring dengan bertambah luasnya kewenangan ini, maka aparat birokrasi pemerintahan di daerah dapat mengelola dan menyelenggaraan pelayanan publik dengan lebih baik sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Sebagaimana dikemukakan (Hoessein, 2001):
“Otonomi daerah merupakan wewenang untuk mengatur urusan pemerintahan yang bersifat lokalitas menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dengan demikian desentralisasi sebenarnya menjelmakan otonomi masyarakat setempat untuk memecahkan berbagai masalah dan pemberian layanan yang bersifat lokalitas demi kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Desentralisasi dapat pula disebut otonomisasi, otonomi daerah diberikan kepada masyarakat dan bukan kepada daerah atau pemerintah daerah”.
Namun, hingga saat ini kualitas pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Di mana hal ini juga sebagai akibat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum dirasakan oleh rakyat. Di samping itu, ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki “uang“, dengan sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan. Untuk itu, apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan yang berpihak ini akan memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam kehidupan berbangsa. Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antar yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, pertumbuhan ekonomi yang melambat, dan pada tahapan tertentu dapat “meledak” dan merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Kemudian, terdapat kecenderungan di berbagai instansi pemerintah pusat yang enggan menyerahkan kewenangan yang lebih besar kepada daerah otonom, akibatnya pelayanan publik menjadi tidak efektif, tidak efisien dan tidak ekonomis, dan tidak menutup kemungkinan unit-unit pelayanan cenderung tidak memiliki responsibilitas, responsivitas, dan tidak representatif sesuai dengan tuntutan masyarakat. Banyak contoh yang dapat diidentifikasi, seperti pelayanan bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, fasilitas sosial, dan berbagai pelayanan di bidang jasa yang dikelola pemerintah daerah belum memuaskan masyarakat, kalah bersaing dengan pelayanan yang dikelola oleh pihak swasta. Norman Flyn (1990) mengemukakan bahwa pelayanan publik yang dikelola pemerintah secara hierarkhis cenderung bercirikan over bureaucratic, bloated, wasteful, dan under performing.
Kejadian-kejadian tersebut lebih disebabkan karena paradigma pemerintahan yang masih belum mengalami perubahan mendasar. Paradigma lama tersebut ditandai dengan perilaku aparatur negara di lingkungan birokrasi yang masih menempatkan dirinya untuk dilayani bukannya untuk melayani. Padahal pemerintah seharusnya melayani, bukan dilayani. Seharusnya, dalam era demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi, perlu menyadari bahwa pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang" (Mustopadidjaja, 2003).
Agar pelayanan publik berkualitas, sudah sepatutnya pemerintah mereformasi paradigma pelayanan publik tersebut. Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan bagi peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik.
0 comments:
Posting Komentar